Children are born person. Sejak lahir dibekali akal budi. Sama seperti tubuh, pikiran juga mengalami pertumbuhan. Dan untuk bertumbuh matang, pikiran sudah mempunyai kemampuan mencerna maka sejatinya pendidikan datang dari dalam diri (mandiri).
Hidup ini adalah kesempatan, jadilah bijak dan lakukan yang benar, trust and obey for there is no other way
Sabtu, 22 Mei 2021
Podcast CM Indonesia #12 Pendidikan Mandiri melalui Narasi
Jumat, 07 Mei 2021
Towards a Philosophy of Education Chapter 1: Self-Education
Self-Education
We go round the house and round the house, but rarely go into the House of Mind; we offer mental gymnastics, but these do not take the place of food, and of that we serve the most meagre rations, no more than that bean a day! Diet for the body is abundantly considered, but no one pauses to say, “I wonder does the mind need food, too, and regular meals, and what is its proper diet?”
I should like to emphasize quantity, which is as important for the mind as the body; both require their ‘square meals.’
What else are we saying when we run after educational methods which are purely sensory? Knowledge is not sensation, nor is it to be derived through sensation; we feed upon the thoughts of other minds; and thought applied to thought generates thought and we become more thoughtful. No one need invite us to reason, compare, imagine; the mind, like the body, digests its proper food, and it must have the labour of digestion or it ceases to function.
No one knoweth the things of a man but the spirit of a man which is in him; therefore, there is no education but self-education, and as soon as a young child begins his education he does so as a student. Our business is to give him mind-stuff, and both quality and quantity are essential. Naturally, each of us possesses this mind-stuff only in limited measure, but we know where to procure it; for the best thought the world possesses is stored in books; we must open books to children, the best books; our own concern is abundant provision and orderly serving.
"Children are born persons,” is the first article of the educational credo in question. The response made by children (ranging in age from six to eighteen) astonished me; though they only shewed the power of attention, the avidity for knowledge, the clearness of thought, the nice discrimination in books, and the ability to deal with many subjects, for which I had given them credit in advance. I need not repeat what I have urged elsewhere on the subject of ‘Knowledge’ and will only add that anyone may apply a test; let him read to a child of any age from six to ten an account of an incident, graphically and tersely told, and the child will relate what he has heard point by point, though not word for word, and will add delightful original touches; what is more, he will relate the passage months later because he has visualised the scene and appropriated that bit of knowledge. A rhetorical passage, written in ‘journalese,’ makes no impression on him; if a passage be read more than once, he may become letter-perfect, but the spirit, the individuality has gone out of the exercise.
People are naturally divided into those who read and think and those who do not read or think; and the business of schools is to see that all their scholars shall belong to the former class; it is worth while to remember that thinking is inseparable from reading which is concerned with the content of a passage and not merely with the printed matter.
In urging a method of self-education for children in lieu of the vicarious education which prevails, I should like to dwell on the enormous relief to teachers, a self-sacrificing and greatly overburdened class; the difference is just that between driving a horse that is light and a horse that is heavy in hand; the former covers the ground of his own gay will and the driver goes merrily. The teacher who allows his scholars the freedom of the city of books is at liberty to be their guide, philosopher and friend; and is no longer the mere instrument of forcible intellectual feeding.
Saduran dari: Mason, Charlotte. 1922. Towards a Philosophy of Education (Chapter 1).
Podcast CM Indonesia #11 Belajar yang Efektif di Era Pandemi
Belajar yang efektif di era pandemi
Situasi pandemi membuat sekolah diliburkan, anak-anak belajar dari rumah. Guru kerepotan mempersiapkan materi daring, orang tua kesulitan dan stres mendampingi prose belajar daring, dan anak-anak protes karena materi kebanyakan.
Hal ini selaras dengan psikologi kedukaan Elisabeth Kübler-Ross, dimana pandemi ini menyebabkan proses belajar yang selama ini berjalan seperti mengalami kehilangan. Pertama, tahap penyangkalan, semua orang mengeluhkan mengapa ini bisa terjadi. Kedua, tahap marah, orang tua frustasi bahkan bisa ngamuk. Bila ini tidak teratasi, bisa terjadi tahap depresi. Yang dikuatirkan disini kesehatan mental setiap orang. Tahap terakhir yaitu menerima situasi, tidak mudah terjadi, karena butuh self-awareness. Butuh latihan untuk tahu apa yang kita rasakan. Kita perlu berefleksi.
Banyak orang stres dengan ketakutan imajiner seperti takut anaknya bodoh, ketinggalan pelajaran, yang dalam doktrin utilitarian, akan takut nanti anaknya tidak bisa dapat kerja. CM menanyakan mengapa kita menjalani apa yang kita jalani, tujuannya buat apa, ketakutan apa, apa yang dikerjakan buat menyelesaikan ketakutan.
Pada ortu yang mengerti apa hakekat dan tujuan pendidikan, situasi pandemi ini bisa dipandang berbeda. Dengan belajar daring, ortu bisa menggunakan waktu membangun kedekatan bersama anak. Anak juga dapat belajar hal-hal baru dari pekerjaan sehari-hari di rumah. Karena pendidikan tidak sekedar hal akademis, sehingga ortu tidak perlu pusing dengan hal-hal yang teknis. Tanggung jawab pendidikan utama di rumah ialah bersama ortu. Nietzsche mengatakan, "He who has a why to live can bear almost any how."
Realitas hidup ini gak pernah mulus. Orang zaman modern sudah mengalami penurunan dalam kemampuan menanggung hidup karena semua sudah serba artifisial dan dibantu teknologi. Pada zaman dulu, manusia harus menghadapi macan, perubahan drastis, dan bencana. Hal ini menuntut kita bahwa hidup punya kejutan, dan memaknai ulang setiap krisis. Memiliki ketangguhan emosional dengan tetap tenang dalam situasi krisis.
Reframing, sudut pandang bisa berubah. Ortu bisa bersyukur. Emosi negatif menjadi positif. Jalan lebih ringan, ortu bisa lebih happy.
Efektif ialah tentang melakukan hal yang benar. Efisien ialah tentang melakukan dengan cara yang benar. Modern itu efisien, seperti mesin cuci, menbuat kita lebih mudah dalam mencuci pakaian. Belajar yang efektif adalah belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang benar. Filosofi pendidikan itu ada dua. Pertama, anak itu kodratnya apa. Kedua, anak di dunia ini mau ngapain. Dari kedua hal ini, proses belajar mau ke arah mana.
CM bilang anak kodratnya lahir sebagai pembelajar. Belajar yang efektif inisiatifnya datang dari si anak. Banyak ortu menganggap belajar itu berarti mengerjakan banyak tugas dan PR. CM bilang education is science of relations, anak belajar bisa mengaitkan hidup dengan pengetahuan yang disampaikan. Kita lihat bayi, sibuk bergerak kesana kemari, ingin tahu ini dan itu, motivasi datang dari dalam. Karena anak di dalam dirinya sejatinya adalah pembelajar.
Jawaban dan penjelasan tentang sebuah pelajaran akan berguna bila ada pertanyaan dari si anak. Maka dalam belajar daring, dorong anak untuk bertanya, bercerita. Bukan ortu apalagi guru yang sibuk dan pusing dengan pengetahuan yang datang dari diri anak. CM bilang kalau anak melihat ortu sudah bisa mengurus segala sesuatu, ia dengan senang hati menyerahkan tanggung jawabnya ke ortu. CM beri amaran jangan kita ambil alih pembelajar dari anak. Tugas ortu adalah menyajikan pengetahuan yang kaya, beragam dan hidup. Ortu tidak menjadi penengah antara anak dan pengetahuan. Bagian anak adalah aktif mencerna pengetahuan.
Ortu dapat meminta anak menarasikan kembali. Dan juga yang tidak kalah penting, apa yang keluar dari anak harus dihargai. Narasi anak tidak bisa muncul saat itu. Di lain waktu ia bisa ceritakan kembali yang terluput kemarin. Karena pengetahuan sudah mengeram di dalam dirinya.
Jadi ortu gak perlu stres. Belajar percaya pada anak, percaya pada hasrat belajarnya. Ortu/guru belajar seni menyingkir. Biarkan anak berjumpa dengan pengetahuan. Lakukan dialog sokratik, kita sebagai fasilitator membuat anak merefleksikan pengetahuan yang dimilikinya. Bukan tentang ceramah, tapi berdialog pengetahuan yang menjadi miliknya.
Refleksi dari CM Indonesia #11 Belajar yang Efektif di Era Pandemi (25 Juli 2020)
Pondasi CM Indonesia #9 Mengatur Tanpa Menjadi Diktator
Mengatur tanpa menjadi diktator
Perhatikan ini:
Ortu tidak boleh diktator, tapi anak tidak boleh dimanjakan.
Ortu tidak boleh semena-mena, tapi anak tidak boleh suka-suka.
Bagaimana caranya?
Ini dinamakan principle-centered education. Tidak berat sebelah atau tidak memihak pola parent-centered dan children-centered.
Namun kesulitan principle-centered ini ada satu.
Bagaimana pikiran (logika) dengan perasaan (emosi) bisa selaras.
Mengapa bisa sukar?
Ortu mendidik anak ikut tradisi. Ikut-ikut pola asuh orang sekitarnya. Ikut-ikut pola asuh figur/tokoh, terlebih selebriti.
Ortu zaman sekarang individualis, semua belajar sendiri-sendiri. Sehingga cara asuh masing-masing sudah pasti beda.
Dapat info sana sini, jadi conflicting belief sehingga kacau sendiri dalam prakteknya mendidik anak.
Satu pertanyaan penting misalnya: menurut anda boleh atau tidak ortu menyuruh anak sesuatu yang anak ga suka? Sederhananya makan sayuran, tapi si anak ga mau. Sudah dinasehatin makan sayuran itu bagus buat kesehatan dan tubuh, anak tetap ga mau. Disuruh makan, si anak berseru mama jahat, mama tukang maksa dan lain-lain.
CM bilang kalau sudah hukum alam mesti ditegakkan. Makan sayur itu sehat, sudah pasti hukum alam. CM juga peringatkan kehendak anak itu lemah, yang dia tahu hanya suka dan tidak suka.
Di lapangan banyak ortu takut atau ragu-ragu jadinya karena takut dicap diktator. Ortu alergi disebut diktator. Jadinya semua berbasis kesepakatan. Oke kalau kamu tidak mau makan sayur ga apa-apa. Oke deh masih kecil kasihan anaknya. Oke deh masi belum ngerti sayuran itu untuk apa. Dan lain sebagainya.
Sekarang ortu sama anak setara ga sih?
Dalam mendidik anak, ortu memberikan perintah, anak menjalankan perintah. Ortu ga boleh bingung anak setara atau ga setara. CM bahkan menyebut keluarga seperti monarki, bukan demokrasi. Lalu sepintas langsung orang alergi dengar monarki, karena trauma masa lalu, karena pernah penyalahgunaan kekuasaan. Ortu adalah otoritas tertinggi bagi anak dalam keluarga. Tuhan menitipkan anak, dan ortu diberi tanggung jawab untuk mendidik anak. Monarki yang dimaksud CM dalam hal ini: aturan yang sifatnya prinsip harus ditegakkan, sedangkan kesepakatan untuk yang sifatnya non prinsip. Belajar dari monarki yang ada di dunia ini, ada catatan mendidik anak supaya berjalan baik. Raja harus bijak juga mengayomi rakyat. Bila sebaliknya, akan merugikan rakyat dan terjadi kediktatoran. Kita ingat pernyataan Raja Perancis Louis IV: L'État, c'est moi (negara adalah saya). Ini preseden monarki yang buruk. Karena menganggap diri adalah sumber kebenaran, tidak melihat Tuhan sebagai otoritas tertinggi, mencatut nama Tuhan untuk meninggikan diri, anti kritik, dan otokratis. Bedakan otokratis dan otoritatif. Otokratis sama dengan diktator. Otoritatif sama dengan tegas, punya tanggung jawab menegakkan hukum Tuhan.
Apakah CM anti demokrasi? Demokrasi berarti menghargai setiap pribadi, menjadi tuan atas dirinya sendiri. CM sendiri setuju bahwa children are born person. Ortu jangan menindas apalagi mengeksploitasi anak. Kita ini pribadi, tapi bukan apa yang kita mau, yang menjadi kebenaran. Kita mesti berpegang pada prinsip, bukan figur. Ortu cuma perwakilan, anak taat pada hukum Tuhan. Sehingga otoritas melekat hanya pada kebenaran. Siapa yang berpengetahuan/bijak, yang memimpin. Siapa yang tidak berpengetahuan/ kurang bijak, yang dipimpin. Lalu siapa yang memimpin siapa? Ada waktunya bila anak lebih berpengetahuan, kita ortu jangan sungkan untuk mendengar dan belajar dari anak. Anak semakin dewasa, bisa setara dengan ortu. CM tidak menolak demokrasi, dengan catatan: prinsip kebenaran dan persyaratan harus dijalankan baru bisa yang ideal menyesuaikan di lapangan.
Kesimpulan, principle-centered berarti ortu dan anak tunduk pada prinsip yang sama, hukum Tuhan. Prakteknya, menjalankan aturan dengan tegas dan menghormati kepribadian anak.
Refleksi dari CM Indonesia #9 Mengatur Tanpa Menjadi Diktator (4 Juli 2020)
Narasi Fondasi Pendidikan CM Batch 7
Apakah ide bagi akal budi?
Sehingga lapar akan esensi
dan haus gagasan hidup yang berisi
Ia yang tak kasat mata tampak
Merasuk tinggalkan jejak
Membuat raga bergerak
Kemanakah ide pergi mencari jalan
Sekian lama lenyap dari pendidikan
Tanpanya naskah rasanya tawar bukan
Kumpulan fakta tanpa pertumbuhan
Mengembara sepanjang kehidupan
Tetap saja tak tergantikan zaman
Takkan terkalahkan oleh aneka perubahan
Kala Sang Pencipta bersabda
Bukankah ide tercipta
Sebagai api yang menyala
Hukum yang alami senantiasa
Berikan melimpah kepadanya
Jangan khamiri ia dengan opini belaka
Ia jadi rusak tak bernyawa
Padahal ia sejatinya kaya
Biarkan ia dipilih di antara semua
Selama ia dan pribadi kecil berjumpa
Bermanifestasi seluruh indera
Ia akan terdidik berdaya
Pendidik siapakah kamu?
Kenalkah pribadi dewasa di depan cerminmu?
Kenalkah keturunan yang hadir di tengah-tengahmu?
Jangan sampai keliru apalagi berseteru
Sampai kamu berdamai seperahu
Jadilah insan nirmala yang berpadu
Pendidik, kenalkah pikiran dengan sejuta pusaka?
Dua kekuatan besar yang tak binasa
Sadar dan nir sadar terasa
Aman bak melata
Nyaman bak vertebrata
Ada kebenaran bak manusia seutuhnya
Latihlah pikiranmu
Berlaga dengan ide yang tak semu
Jauhlah daripada ambigu
Pendidik yang berdaya siapakah kamu?
Carilah ia di sekelilingmu
Atmosfir, disiplin dan hidup niscaya selalu
Podcast CM Indonesia #8 Apakah Anak Harus Selalu Bahagia?
Apakah anak harus selalu bahagia?
Sejauh mana orang tua melindungi anak agar hatinya tidak terluka?
Sering kita dengar interview dengan tokoh-tokoh populer, atau kita bahkan, ditanya anak mau jadi apa? Terserah anak mau jadi apa, yang penting bahagia.
Bahagia itu ukuran cita-cita kah?
Lagipula masa depan siapa yang bisa meramal kalau anak kita akan bahagia?
Lihat kisah Albert Schweitzer, musisi jenius tapi menemukan panggilan menjadi dokter di Afrika. Lihat kisah Che Guevara, calon dokter tapi menemukan panggilan menjadi gerilyawan revolusi di Amerika Selatan.
Kalau demikian orang tua gak akan nyangka banget kok anaknya jadi begini. Tapi apakah kita tahu si anak yang menjalani panggilannya: bahagia?
Anak mau jadi apapun terserah yang penting bahagia. Seberapa terserah?
Kita lihat definisi bahagia itu apa?
Kalau bahagia diartikan apapun hanya seputar perasaan, apakah sudah bisa dijadikan patokan benar dan salah?
CM bilang kita hidup di dunia terikat akan sebuah hukum-hukum alam yang lebih besar dari kita. Terikat akan sang pencipta kita. Sehingga mendidik anak ikuti hukum sang pencipta, bukan perasaan.
CM bilang ide apa yang masuk dalam diri anak untuk menjalani panggilan. Mau profesi apa yang penting profesi itu baik, profesi itu bermoral. Kepada anak, ortu bilang kamu itu bebas, tapi untuk berbuat baik. Bebas untuk bahagia selama dalam koridor moral. Bahagia tapi bukan untuk kebaikan haruslah ditinggalkan.
It is right because it is good.
It is good because it is right.
Yang benar itu seperti apa? Apakah yang senang sesaat tapi dampaknya ga baik? Apakah sulit di awal tapi mesti dilakukan karena itu baik? Kalau itu benar, harus dilatih.
Dalam riset psikologi, bahagia itu tidak konstan, bisa naik bisa turun. Dan tergantung pula pada situasi, tempat, waktu, dan orang lain.
Orang akan senang kalau dia capai target. Cuma kelihatan dari luar sudah mencapai target, tapi belum tentu bahagia. Wanita karir dari luar terlihat mapan, tapi belum tentu bahagia, bisa saja dia memasang target ingin menimang anak seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya. Sebaliknya, ibu rumah tangga yang mengurus anak terlihat sudah lengkap, tapi belum bahagia karena dia ingin seperti wanita karir yang bebas dan berpenghasilan sendiri. Inilah paradoks kebahagiaan sebatas perasaan senang dan sebatas target.
Kalau bicara target, manusia tidak bisa bahagia. Karena manusia secara daging, tidak pernah merasa puas, targetnya terus naik dan tidak pernah selesai. Kita punya ego, dan kalau ego dijadikan pusat segalanya tentang aku, aku dan aku; maka kita tidak akan bahagia.
Kita perlu menundukkan diri, mengabdi pada sesuatu yang lebih besar yaitu sang pencipta kita dan kehidupan. Disanalah mungkin hidup kita gak selalu terlihat hebat, tapi kita merasakan puas karena kita tahu apa panggilan kita.
Kalau semakin banyak orang yang ego, hidup di masyarakat akan ngeri.
Pendidikan yang berpusat pada perasaan senang atau tidak bisa menjadikan anak berpusat pada perasaannya sendiri dan pada akhirnya hidupnya tidak memuaskan selamanya.
Zaman dulu, dihajar sama dengan diajar. Ortu keras mendidik anak (dalam koridor mendisiplinkan anak secara benar).
Sekarang, ortu demikian dikecam, dihakimi netizen, diancam UU Perlindungan Anak. Anak sekarang dipuja ortu, atau ortu bersujud kepada anak pokoknya selama anak senang. Anak demikian jadi tidak memiliki aturan hingga kelak dewasa. Dibanding zaman dulu, ortu diktator masih mending, anak masih mengerti bahwa ada namanya aturan yang perlu diikuti.
Ada juga kondisi ortu zaman sekarang yang dulunya saat menjadi anak dididik keras, sekarang sudah menjadi ortu dan punya anak, memanjakan anaknya. Ada luka batin sehingga jangan sampai anaknya ikut trauma seperti ia dahulu.
Cara membesarkan anak CM bilang tidak condong ke salah satu : parent-centered atau child-centered. Tetapi berpusat kepada sebuah kebenaran atau prinsip. Kebenaran ini datangnya dari otoritas tertinggi yaitu sang pencipta.
Anak boleh bahagia tapi bukan semata karena ego atau kesenangan pribadi.
Anak bahagia karena mampu melakukan hal yang benar secara prinsip.
Semoga kita dan anak kita dimampukan untuk mengalami kebahagiaan ini.
Refleksi dari CM Indonesia #8 Apakah Anak Harus Selalu Bahagia? (27 Juni 2020)