Apakah anak harus selalu bahagia?
Sejauh mana orang tua melindungi anak agar hatinya tidak terluka?
Sering kita dengar interview dengan tokoh-tokoh populer, atau kita bahkan, ditanya anak mau jadi apa? Terserah anak mau jadi apa, yang penting bahagia.
Bahagia itu ukuran cita-cita kah?
Lagipula masa depan siapa yang bisa meramal kalau anak kita akan bahagia?
Lihat kisah Albert Schweitzer, musisi jenius tapi menemukan panggilan menjadi dokter di Afrika. Lihat kisah Che Guevara, calon dokter tapi menemukan panggilan menjadi gerilyawan revolusi di Amerika Selatan.
Kalau demikian orang tua gak akan nyangka banget kok anaknya jadi begini. Tapi apakah kita tahu si anak yang menjalani panggilannya: bahagia?
Anak mau jadi apapun terserah yang penting bahagia. Seberapa terserah?
Kita lihat definisi bahagia itu apa?
Kalau bahagia diartikan apapun hanya seputar perasaan, apakah sudah bisa dijadikan patokan benar dan salah?
CM bilang kita hidup di dunia terikat akan sebuah hukum-hukum alam yang lebih besar dari kita. Terikat akan sang pencipta kita. Sehingga mendidik anak ikuti hukum sang pencipta, bukan perasaan.
CM bilang ide apa yang masuk dalam diri anak untuk menjalani panggilan. Mau profesi apa yang penting profesi itu baik, profesi itu bermoral. Kepada anak, ortu bilang kamu itu bebas, tapi untuk berbuat baik. Bebas untuk bahagia selama dalam koridor moral. Bahagia tapi bukan untuk kebaikan haruslah ditinggalkan.
It is right because it is good.
It is good because it is right.
Yang benar itu seperti apa? Apakah yang senang sesaat tapi dampaknya ga baik? Apakah sulit di awal tapi mesti dilakukan karena itu baik? Kalau itu benar, harus dilatih.
Dalam riset psikologi, bahagia itu tidak konstan, bisa naik bisa turun. Dan tergantung pula pada situasi, tempat, waktu, dan orang lain.
Orang akan senang kalau dia capai target. Cuma kelihatan dari luar sudah mencapai target, tapi belum tentu bahagia. Wanita karir dari luar terlihat mapan, tapi belum tentu bahagia, bisa saja dia memasang target ingin menimang anak seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya. Sebaliknya, ibu rumah tangga yang mengurus anak terlihat sudah lengkap, tapi belum bahagia karena dia ingin seperti wanita karir yang bebas dan berpenghasilan sendiri. Inilah paradoks kebahagiaan sebatas perasaan senang dan sebatas target.
Kalau bicara target, manusia tidak bisa bahagia. Karena manusia secara daging, tidak pernah merasa puas, targetnya terus naik dan tidak pernah selesai. Kita punya ego, dan kalau ego dijadikan pusat segalanya tentang aku, aku dan aku; maka kita tidak akan bahagia.
Kita perlu menundukkan diri, mengabdi pada sesuatu yang lebih besar yaitu sang pencipta kita dan kehidupan. Disanalah mungkin hidup kita gak selalu terlihat hebat, tapi kita merasakan puas karena kita tahu apa panggilan kita.
Kalau semakin banyak orang yang ego, hidup di masyarakat akan ngeri.
Pendidikan yang berpusat pada perasaan senang atau tidak bisa menjadikan anak berpusat pada perasaannya sendiri dan pada akhirnya hidupnya tidak memuaskan selamanya.
Zaman dulu, dihajar sama dengan diajar. Ortu keras mendidik anak (dalam koridor mendisiplinkan anak secara benar).
Sekarang, ortu demikian dikecam, dihakimi netizen, diancam UU Perlindungan Anak. Anak sekarang dipuja ortu, atau ortu bersujud kepada anak pokoknya selama anak senang. Anak demikian jadi tidak memiliki aturan hingga kelak dewasa. Dibanding zaman dulu, ortu diktator masih mending, anak masih mengerti bahwa ada namanya aturan yang perlu diikuti.
Ada juga kondisi ortu zaman sekarang yang dulunya saat menjadi anak dididik keras, sekarang sudah menjadi ortu dan punya anak, memanjakan anaknya. Ada luka batin sehingga jangan sampai anaknya ikut trauma seperti ia dahulu.
Cara membesarkan anak CM bilang tidak condong ke salah satu : parent-centered atau child-centered. Tetapi berpusat kepada sebuah kebenaran atau prinsip. Kebenaran ini datangnya dari otoritas tertinggi yaitu sang pencipta.
Anak boleh bahagia tapi bukan semata karena ego atau kesenangan pribadi.
Anak bahagia karena mampu melakukan hal yang benar secara prinsip.
Semoga kita dan anak kita dimampukan untuk mengalami kebahagiaan ini.
Refleksi dari CM Indonesia #8 Apakah Anak Harus Selalu Bahagia? (27 Juni 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar