Sabtu, 22 Mei 2021

Podcast CM Indonesia #12 Pendidikan Mandiri melalui Narasi

 Children are born person. Sejak lahir dibekali akal budi. Sama seperti tubuh, pikiran juga mengalami pertumbuhan. Dan untuk bertumbuh matang, pikiran sudah mempunyai kemampuan mencerna maka sejatinya pendidikan datang dari dalam diri (mandiri).

Anak lahir dengan hasrat haus akan pengetahuan. Ia memiliki kodrat sebagai pembelajar alami. Bagian ortu adalah menyajikan ide-ide hidup dan melatih anak untuk menarasikan kembali ide tersebut. Anak belajar lebih tergugah / terpikat dengan ide-ide hidup. Dengan narasi, anak menceritakan kembali, menyusun kalimat dan mengeluarkan segala pengetahuan yang ia punya. Sehingga narasi perlu fokus dan perlu dilatih setiap hari.

Ketika narasi, anak yang berelasi dengan ide yang mana. Ortu tidak boleh memberi opini atau ceramah terlalu banyak. Dengan begitu akan ada penerimaan / respect terhadap pribadi anak. Dan itu membuat narasi bertumbuh. Apapun yang keluar dari anak, ortu terima saja. Karena bila kita interupsi, kita tidak respect pada anak. Percaya pada anak kalau dia mampu. Tugas kita adalah disiplin untuk menyajikan ide hidup dan melatih anak narasi.

Kalau buku ga hidup, gimana bisa narasi. Kalau fakta, akan jadi hapalan dan mental tidak bekerja. Buku yang hidup, akan menarik ortu menjadi suka, dan anak juga kerasa. Buku yang hidup berpengaruh pada cara kita membaca buku. Buku yang hidup membuat anak bisa narasi. Kalau susah narasi, gimana mau berelasi dengan ide hidup. Buku yang hidup akan kelihatan dari menjiwai cara membacanya.

Kita apresiasi karena anak mau bernarasi. Dengan narasi, kita jadi tahu anak paham sejauh mana. Kalau ada yang mengambang, bisa dijadikan diskusi sehabis narasi. Ada kalanya setelah narasi, tidak ada diskusi. Ide itu bisa mengeram di pikiran si anak, hingga pada waktunya ide itu keluar dan berelasi dengan pengetahuan yang lain.

Narasi dari CM Indonesia #12 Pendidikan Mandiri melalui Narasi (1 Agustus 2020)

Jumat, 07 Mei 2021

Towards a Philosophy of Education Chapter 1: Self-Education

 Self-Education

We go round the house and round the house, but rarely go into the House of Mind; we offer mental gymnastics, but these do not take the place of food, and of that we serve the most meagre rations, no more than that bean a day! Diet for the body is abundantly considered, but no one pauses to say, “I wonder does the mind need food, too, and regular meals, and what is its proper diet?”

I should like to emphasize quantity, which is as important for the mind as the body; both require their ‘square meals.’

What else are we saying when we run after educational methods which are purely sensory? Knowledge is not sensation, nor is it to be derived through sensation; we feed upon the thoughts of other minds; and thought applied to thought generates thought and we become more thoughtful. No one need invite us to reason, compare, imagine; the mind, like the body, digests its proper food, and it must have the labour of digestion or it ceases to function.

No one knoweth the things of a man but the spirit of a man which is in him; therefore, there is no education but self-education, and as soon as a young child begins his education he does so as a student. Our business is to give him mind-stuff, and both quality and quantity are essential. Naturally, each of us possesses this mind-stuff only in limited measure, but we know where to procure it; for the best thought the world possesses is stored in books; we must open books to children, the best books; our own concern is abundant provision and orderly serving.

"Children are born persons,” is the first article of the educational credo in question. The response made by children (ranging in age from six to eighteen) astonished me; though they only shewed the power of attention, the avidity for knowledge, the clearness of thought, the nice discrimination in books, and the ability to deal with many subjects, for which I had given them credit in advance. I need not repeat what I have urged elsewhere on the subject of ‘Knowledge’ and will only add that anyone may apply a test; let him read to a child of any age from six to ten an account of an incident, graphically and tersely told, and the child will relate what he has heard point by point, though not word for word, and will add delightful original touches; what is more, he will relate the passage months later because he has visualised the scene and appropriated that bit of knowledge. A rhetorical passage, written in ‘journalese,’ makes no impression on him; if a passage be read more than once, he may become letter-perfect, but the spirit, the individuality has gone out of the exercise.

People are naturally divided into those who read and think and those who do not read or think; and the business of schools is to see that all their scholars shall belong to the former class; it is worth while to remember that thinking is inseparable from reading which is concerned with the content of a passage and not merely with the printed matter.

In urging a method of self-education for children in lieu of the vicarious education which prevails, I should like to dwell on the enormous relief to teachers, a self-sacrificing and greatly overburdened class; the difference is just that between driving a horse that is light and a horse that is heavy in hand; the former covers the ground of his own gay will and the driver goes merrily. The teacher who allows his scholars the freedom of the city of books is at liberty to be their guide, philosopher and friend; and is no longer the mere instrument of forcible intellectual feeding.

Saduran dari: Mason, Charlotte. 1922. Towards a Philosophy of Education (Chapter 1).

Podcast CM Indonesia #11 Belajar yang Efektif di Era Pandemi

 Belajar yang efektif di era pandemi

Situasi pandemi membuat sekolah diliburkan, anak-anak belajar dari rumah. Guru kerepotan mempersiapkan materi daring, orang tua kesulitan dan stres mendampingi prose belajar daring, dan anak-anak protes karena materi kebanyakan.

Hal ini selaras dengan psikologi kedukaan Elisabeth Kübler-Ross, dimana pandemi ini menyebabkan proses belajar yang selama ini berjalan seperti mengalami kehilangan. Pertama, tahap penyangkalan, semua orang mengeluhkan mengapa ini bisa terjadi. Kedua, tahap marah, orang tua frustasi bahkan bisa ngamuk. Bila ini tidak teratasi, bisa terjadi tahap depresi. Yang dikuatirkan disini kesehatan mental setiap orang. Tahap terakhir yaitu menerima situasi, tidak mudah terjadi, karena butuh self-awareness. Butuh latihan untuk tahu apa yang kita rasakan. Kita perlu berefleksi.

Banyak orang stres dengan ketakutan imajiner seperti takut anaknya bodoh, ketinggalan pelajaran, yang dalam doktrin utilitarian, akan takut nanti anaknya tidak bisa dapat kerja. CM menanyakan mengapa kita menjalani apa yang kita jalani, tujuannya buat apa, ketakutan apa, apa yang dikerjakan buat menyelesaikan ketakutan.

Pada ortu yang mengerti apa hakekat dan tujuan pendidikan, situasi pandemi ini bisa dipandang berbeda. Dengan belajar daring, ortu bisa menggunakan waktu membangun kedekatan bersama anak. Anak juga dapat belajar hal-hal baru dari pekerjaan sehari-hari di rumah. Karena pendidikan tidak sekedar hal akademis, sehingga ortu tidak perlu pusing dengan hal-hal yang teknis. Tanggung jawab pendidikan utama di rumah ialah bersama ortu. Nietzsche mengatakan, "He who has a why to live can bear almost any how." 

Realitas hidup ini gak pernah mulus. Orang zaman modern sudah mengalami penurunan dalam kemampuan menanggung hidup karena semua sudah serba artifisial dan dibantu teknologi. Pada zaman dulu, manusia harus menghadapi macan, perubahan drastis, dan bencana. Hal ini menuntut kita bahwa hidup punya kejutan, dan memaknai ulang setiap krisis. Memiliki ketangguhan emosional dengan tetap tenang dalam situasi krisis.

Reframing, sudut pandang bisa berubah. Ortu bisa bersyukur. Emosi negatif menjadi positif. Jalan lebih ringan, ortu bisa lebih happy.

Efektif ialah tentang melakukan hal yang benar. Efisien ialah tentang melakukan dengan cara yang benar. Modern itu efisien, seperti mesin cuci, menbuat kita lebih mudah dalam mencuci pakaian. Belajar yang efektif adalah belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang benar. Filosofi pendidikan itu ada dua. Pertama, anak itu kodratnya apa. Kedua, anak di dunia ini mau ngapain. Dari kedua hal ini, proses belajar mau ke arah mana.

CM bilang anak kodratnya lahir sebagai pembelajar. Belajar yang efektif inisiatifnya datang dari si anak. Banyak ortu menganggap belajar itu berarti mengerjakan banyak tugas dan PR. CM bilang education is science of relations, anak belajar bisa mengaitkan hidup dengan pengetahuan yang disampaikan. Kita lihat bayi, sibuk bergerak kesana kemari, ingin tahu ini dan itu, motivasi datang dari dalam. Karena anak di dalam dirinya sejatinya adalah pembelajar.

Jawaban dan penjelasan tentang sebuah pelajaran akan berguna bila ada pertanyaan dari si anak. Maka dalam belajar daring, dorong anak untuk bertanya, bercerita. Bukan ortu apalagi guru yang sibuk dan pusing dengan pengetahuan yang datang dari diri anak. CM bilang kalau anak melihat ortu sudah bisa mengurus segala sesuatu, ia dengan senang hati menyerahkan tanggung jawabnya ke ortu. CM beri amaran jangan kita ambil alih pembelajar dari anak. Tugas ortu adalah menyajikan pengetahuan yang kaya, beragam dan hidup. Ortu tidak menjadi penengah antara anak dan pengetahuan. Bagian anak adalah aktif mencerna pengetahuan.

Ortu dapat meminta anak menarasikan kembali. Dan juga yang tidak kalah penting, apa yang keluar dari anak harus dihargai. Narasi anak tidak bisa muncul saat itu. Di lain waktu ia bisa ceritakan kembali yang terluput kemarin. Karena pengetahuan sudah mengeram di dalam dirinya.

Jadi ortu gak perlu stres. Belajar percaya pada anak, percaya pada hasrat belajarnya. Ortu/guru belajar seni menyingkir. Biarkan anak berjumpa dengan pengetahuan. Lakukan dialog sokratik, kita sebagai fasilitator membuat anak merefleksikan pengetahuan yang dimilikinya. Bukan tentang ceramah, tapi berdialog pengetahuan yang menjadi miliknya. 

Refleksi dari CM Indonesia #11 Belajar yang Efektif di Era Pandemi (25 Juli 2020)